Perayaan Maulid & Muhasabah Cinta nabi

Saat ini kita sudah memasuki bulan Rabiul Awal 1442 H. Pada 12 Rabiul Awal, umat Islam memperingati peristiwa agung lahirnya baginda Rasulullah SAW atau yang di kenal dengan Maulid Nabi Muhammad SAW.

Namun, kondisi  saat ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Biasanya sebelum memasuki pertengahan Rabiul Awal, syiar maulid sudah mulai terlihat. Tapi tidak untuk tahun  ini, gaungnya tak semeriah biasanya, ia berjalan biasa saja. 

Hal ini bisa jadi karena kita sedang di uji dengan wabah penyakit yang hampir merata di seluruh dunia, yaitu virus Corona (Covid-19). 

Sungguh, wabah Covid-19 ini telah menyita perhatian semua pihak di seluruh dunia. Berbagai aktifitas rutin sudah berbeda. Sekarang,  kita terbiasa dengan kehidupan new normal.

 Keadaan ini masuk dalam kondisi darurat. Berbagai kebijakan pemerintah dan juga non-pemerintah tertuju untuk bersama-sama mencegah penyebaran wabah ini.

Kondisi itu pula yang mempengaruhi kondisi psikologi masyarakat. Perasaan khawatir, cemas dan rasa was-was terhadap penyebaran penyakit tersebut membuat masyarakat saat ini lebih fokus pada covid-19 daripada kegiatan lainnya. Termasuk, dalam peringatan Maulid Baginda Rasulullah SAW.

Umat Islam di dunia biasa melaksanakan perayaan maulid dengan cara yang bervariasi. Bahkan, di Aceh perayaannya sampai tiga bulan. Tradisi perayaan ini  berbeda di antara umat-umat Islam, tergantung daerah masing-masing.

Sebagian daerah merayakannya dengan majelis ilmu dalam bentuk dakwah, pengajian di masjid atau di kantor-kantor. Sebagian daerah lain merayakan dengan kenduri, kemudian pada malamnya di lanjutkan dengan dakwah dari da’i-da’i ternama di daerah tersebut. 

Memang, permasalahan perayaan maulid Rasulullah SAW sering menjadi perdebatan dan perbedaan pendapat. Sebagian kelompok mengatakan perayaan maulid itu bid’ah, atau tidak perlu di lakukan.  Namun sebagian kelompok yang lain berpendapat bahwa perayaan maulid ini boleh di laksanakan dan sangat di anjurkan.

Perbedaan pendapat ini lumrah dan biasa, tidak harus terjadi perpecahan dan saling menghina sesama, apalagi saling menjelekkan. Dalam hal ini, kedua kelompok memiliki dalil masing-masing dalam menjalankan pendapatnya.

Terlepas dari pro kontra perayaan maulid, di sana ada hal penting yang perlu kita perhatikan, yaitu tentang bagaimana cara membuktikan cinta kita kepada Baginda Rasalullah SAW. Sehingga kita dapat mengimplementasikan norma-norma kehidupan Rasullullah SAW dalam kehidupan kita, menelusuri sirah dan menjadikannya sebagai  uswah dan qudwah.

Baca Juga: Tunaikan Zakat Penghasilan

muhasabah Cinta Nabi dengan maulid

Perayaan maulid tidak hanya menjadi perayaan seremonial, ajang gengsi dan ajang perbaikan gizi ‘makan-makan’ saja. Akan tetapi, perayaan maulid menjadi momentum untuk membangkitkan kembali semangat dan kecintaan kita kepada Rasullullah SAW. Ini menjadi ajang  meningkatkan ‘gizi’ spiritual kita, menelaah sirah Rasullah SAW, kemudian mengikuti semua syariat yang di bawanya, menjadikan Rasulullah idola dan teladan dalam kehidupan kita, sehingga nutrisi “menjalankan sunnahnya” terpenuhi.

Meninggalkan perbedaan adalah mustahabbun (di anjurkan). Kaidah fikih ini sangat cocok untuk diterapkan pada saat ini,  karena menganjurkan keluar dari perbedaan demi menjaga persatuan dan menjauh dari perpecahan. 

Seperti halnya dalam masalah perayaan maulid ini, terus menerus berbeda pendapat. Namun pada momen maulid ini kita kembali kepada ”muhasabah cinta” kepada Rasulullah SAW.  Menjadikan ajang perbaikan ‘gizi’ spiritual menambahkan keimanan dan kecintaan. 

Secara subtansial, perayaan Maulid Nabi SAW adalah sebagai upaya untuk mengenal keteladanan Muhammad SAW sebagai pembawa ajaran Islam. Tercatat dalam sejarah kehidupan, bahwa nabi Muhammad SAW adalah pemimpin besar yang sangat luar biasa dalam memberikan teladan agung bagi umatnya.

Perayaan maulid di Aceh di sebut khanduri molodKhanduri  melahirkan nilai positif, yaitu, ajang memperkuat silaturrahim dan untuk perbaikan gizi dengan menu khas yang ada pada musim maulid, dan ini sangat di anjurkan oleh Rasulullah SAW.

Inti dari ihtifal maulid ini yaitu momen mengingat, mengatur kembali serta menata tentang kecintaan kita kepada Rasulullah SAW. Ini yang dimaksud sebagai ajang perbaikan ‘gizi’ spritual untuk lebih mencintai dan meneladani Rasulullah. 

Terkadang selama ini kita terus berjalan, tanpa mau mengikuti amalan-amalan dan perkataan-perkataan Rasulullah. Dengan adanya momen semacam ini, satu hikmah paling besar, kita jadikan muhasabah cinta kita kepada Rasulullah SAW dengan meneladani dan menjalankan sunahnya.

Merajut Persaudaraan, Merawat Kebersamaan

Bagi yang membolehkan merayakan khanduri maulid, tentu berbeda tata caranya sesuai dengan adat daerah masing-masing. Ada sebagian daerah khanduri di masjid dan di meunasah, masyarakatnya membawa bu kulah, dan ada juga masyarakat membawa nasi kotak. Hal ini tergantung dengan adat yang sudah berlaku di masing-masing daerah.

Di samping para panitia mengundang desa tetangga, di sini juga sudah terbentuk silaturrahim antara satu gampong dengan gampong yang lainnya dan santunan anak yatim. 

Kemudian di rumah-rumah mengundang sanak famili, tetangga dan shahib-shahibnya  untuk berkenan hadir dan menyantap sedikit hidangan dari tuan rumah. Ini tentu hal yang sangat positif untuk menyambung dan mengikat silaturrahim. Kadang saudara yang jauh pun merapat utuk memenuhi undangan.

Perlu di ketahui bahwa khanduri molod itu sebagai wasilah atau cara saja, karena berbeda generasi tentu berbeda cara mengungkapkan cinta kepada Rasulullah SAW. 

Namun, yang perlu di perhatikan, jangan sampai terjadi kemungkaran karena adanya acara-acara semacam ini. Misalnya, jangan sampai karena alasan menghadiri khanduri, seseorang malah meninggalkan salat. Atau khanduri di jadikan ajang unjuk gengsi semata, dan hal-hal lain yang di larang oleh syariah. 

Jadi, sebetulnya hakikat perayaan Maulid Nabi SAW itu merupakan bentuk pengungkapan rasa senang dan syukur atas di utusnya Nabi Muhammad SAW ke dunia ini yang di wujudkan dengan cara mengumpulkan orang banyak, lalu di isi dengan pengajian keimanan dan keislaman, mengkaji sejarah dan akhlaq Nabi SAW untuk di teladani, kemudian di akhir acara d lanjutkan dengan makan-makan bersama.

Ada suatu hal yang membuat sebagian orang menjadi ragu-ragu untuk merayakan peringatan maulid ini, yaitu ketiadaan  perayaan semacam ini pada masa-masa awal Islam yang istimewa (alqurun al ula al mufadhalah). 

Argumen ini, bukanlah alasan yang tepat untuk melarang perayaan itu, karena tidak ada seorang pun yang meragukan kecintaan mereka radhiyallahu ‘an hum terhadap Nabi SAW. Namun, kecintaan ini mempunyai cara dan bentuk pengungkapan yang bermacam-macam. Tentu saja bentuk pengungkapan rasa cinta kita kepada Rasulullah, berbeda dengan para sahabat kala itu. 

Berbahagia dan bergembira dengan adanya Nabi Muhammad SAW merupakan ibadah, tapi cara pengungkapan kebahagiaan itu hanya merupakan washilah (sarana) yang di perbolehkan untuk dilakukan. Setiap orang dapat memilih  cara yang paling sesuai  dengan di rinya untuk mengungkapkan hal tersebut.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *